Senin, 25 Oktober 2010

QIYAS DALAM ISLAM

1. Pengertian Qiyas
a. Secara Bahasa
Secara bahasa, qiyâs merupakan bentuk masdar dari kata qâsa- yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, "Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya", artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti "menyamakan", dikatakan "Fulan meng-qiaskan extasi dengan minuman keras", artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras.[1]
Dalam perkembanganya, kata qiyâs banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengkiasan dua buah buku. Atau maknawiyah, misalnya "Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si Fulan", artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran.
b. Secara Istilah
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.
Sadr al-Syari'ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyâs adalah :
"Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu' disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja".
Maksudnya, 'illat yang ada pada satu nash sama dengan 'illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan 'illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Imama Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi'iyyah[2] mendefinisikan qiyâs dengan :
"Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.".
DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyâs dengan [3]:
"Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya".
Biarpun terjadi perbedaan definisi terminologi antara ulama klasik dan kontemporer tentang qiyâs, namun mereka sepakat bahwa qiyâs adalah "al-Kasyf wa al-Idzhâr li al-Hukm" atau menyingkapkan dan menampakkan hukum, bukan menetapkan hukum ataupun menciptakan hukum. Karena pada dasarnya al-maqîs atau sesuatu yang dikiaskan, sudah mempunyai hukum yang tetap atau tsâbit, hanya saja terlambat penyingkapanya sampai mujtahid menemukannya dengan perantara adanya persamaan "illah.[4]
2.Rukun Qiyas
Berdasarkan pengertian secara istilah, rukun qiyâs dapat dibagi menjadi empat,[5] yaitu:
a. Al-ashlu
Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs 'alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan),[6] juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu'[7] mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan.[8] Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.
b. Hukmu al-ashli
Atau hukum asli; adalah hukum syar'i yang ada dalam nash atau ijma', yang terdapat dalam al-ashlu..
c. Al-far'u
Adalah sesuatu yang dikiaskan (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma' yang menjelaskan hukumnya.
d. Al-'illah
Adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu, dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far'u, seperti "al-iskâr".[9]
3. Syarat Qiyâs
Dari empat rukun qiyâs yang sudah diterangkan di atas, dari masing-masing rukun terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai syarat khusus sah-nya qiyâs, di antaranya adalah:
1. Syarat al-Ashlu
Ulama ulhul fiqih sepakat bahwa syarat dari al-ashlu adalah suatu hal yang pokok, dan bukan merupakan cabang dari yang lain, atau bukan cabang dari pokok (hukum) yang lain.[11]
Menurut jumhur fuqaha, bahawa qiyâs harusalah dibangun diatas dalil nash ataupun ijma', hanya saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka tentang bolehnya qiyâs yang didasarkan atas ijma'. Sebagian ulama yang tidak setuju mengatakan bahwa qiyâs didasarkan dari 'illah yang menjadi dasar disyariatkannya hukum asli, dan hal ini tidak memungkinkan dalam ijma', karena ijma' tidak diharuskan disebutkan adanya wakil (al-far'u). Maka apabila tidak disebutkan al-far'u-nya, tidak mungkin untuk bisa diketahui 'illah qiyâs-nya.[12]
2. Syarat Hukmu al-Ashli
Terdapat beberapa syarat dalam hukmu al-ashli atau hukum asli,[13]diantaranya:
a.Harus merupakan hukum syar'i, karena tuntutan dari qiyâs adalah untuk menjelaskan hukum syar'i pada al-maqîs atau objek qiyâs.
b.Harus merupakan hukum syara' yang tetap (tidak dihapus). Karena dalam penetapan hukum dari al-ashlu ke al-far'u, didasarkan dari 'illat dalam nash syar'i. Maka apabila hukum asli dihapus, mengharuskan terhapusnya juga 'illat yang akan digunakan dalam al-far'u.
c.Merupakan sesuatu yang logis yang bisa ditangkap oleh akal; 'illat hukumnya bisa diketahui oleh akal. Karena asas qiyâs di antaranya adalah: 'illat hukumnya bisa diketahui, dapat diterapkan pada al-far'u.
Para ulama mengatakan tidak dibolehkanya qiâyas dalam masalah ta'abuddiyah (prerogatif Allah), yang 'illah-nya manusia tidak ada kepentingan untuk mengetahuinya, seperti jumlah raka'at dalam shalat, thawaf mengelilingi ka'bah dll
3. Syarat al-Far'u
a. 'Illat yang terdapat pada al-ashlu memiliki kesamaan dengan 'illat yang terdapat pada far'u, karena seandainya terjadi perbedaan 'illat, maka tidak bisa dilakukan penyamaan (qiyâs) dalam keduanya. Adapun qiyâs yang tidak terdapat syarat ini, dikatakan oleh para ulama sebagai qiyâs ma'a al-fâriq.
b. Tetapnya hukum asal; hukum asal tidak berubah setelah dilakuakan qiyâs.[15]
c. Tidak terdapat nash atau ijma' pada al-far'u, yaitu berupa hukum yang menyelisihi qiyâs. Seandaiya terjadi hal ini, maka qiyâs itu dihukumi dengan qiyâs fâsid al-'itibâr.[16]
Imam Abu Hanifah berkata: "Tidak sah adanya pensyaratan 'iman' dalam memerdekakan budak sebagai kafarat sumpah di-qiyâs-kan pada kafarat pembunuhan; karena pensyaratan itu menyelisihi keumuman nash dalam firman Allah Swt.:
Artinya:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. (Q.S. Al-Mâidah:89).
Lafadz "raqabah/budak" dalam ayat ini berbentuk mutlaq, tidak ada pensyaratan harus mu'min, berbeda dengan kafarat pembunuhan seperti firman Allah Swt.:
Artinya:
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat. (Q.S. An-Nisâ:92).
Maka qiyâs dalam kafarat sumpah atas kafarat pembunuhan adalah fâsid.
4. Syarat 'illat
a. Sifat 'illat hendaknya nyata; terjangkau oleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat merupakan isyarat adanya hukum yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada far'u. Apabila 'illat tidak bisa ditangkap pancaindera, maka tidak mungkin untuk bisa menunjukkan kepada suatu hukum, jadi 'illat haruslah nyata, seperti 'illat memabukkan dalam khamer.
b. Sifat 'illat hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada far'u, karena asas qiyas adalah adanya persamaan 'illat antara ashlu dan far'u'.
c. 'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan hikmah hukum, dalam arti bahwa kuat dugaan 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum; memelihara kehidupan manusia.
d. 'Illat tidak hanya terdapat pada ashlu saja, tetapi harus berupa sifat yang dapat diterapkan juga pada masalah-masalah lain selain dari ashlu.
Untuk hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Saw, tidak boleh dijadikan dasar qiyas. Misalnya menikahi wanita lebih dari empat orang, karena ini berupa ketentuan khusus yang hanya berlaku bagi Nabi Saw.
4. Hujjiyatul Qiyâs
Hujjah secara bahasa artinya petunjuk atau bukti, adapun arti qiyâs sebagai hujjah adalah: petunjuk atau bukti untuk mengetahui beberapa hukum syar'i. Sedangkan artii hujjiyatul qiyâs sendiri adalah bahwa qiyâs merupakan dasar dari dasar-dasar pensyareatan dalam hukum-hukum syar'i ' praktis.
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara'. Tetapi mereka sepakat bahwa qiyâs bisa dijadikan sebagai hujjah dalam perkara-perkara duniawi, sebagaimana pula mereka sepakat kehujjahan qiyâs Nabi Saw.
Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara'
Jumhur 'ulama Mu'tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu:
1. Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum far'u harus lebih utama daripada hukum ashl.
Dr. Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih, dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama-ulama Syi'ah, al-Nadzâm, Dzhahiriyyah dan dari sebagian ulama Mu'tazilah Irak. Hanya saja sebagian dari mereka mengatakan bahwa pelarangan ataupun penolakan terhadap hujjah qiyâs berdasarkan dari akal, dan sebagian yang lain mengatakan pelaranganya dari syar'i, namun pada kenyataanya mereka adalah orang-orang yang menolak adanya qiyâs.
Dr. Sya'ban Muhammad Ismail dalam tahqiqnya mengatakan bahwa golongan yang pertama kali mengingkari qiyâs adalah an-Nadzhâm, kemudian diikuti oleh beberapa kelompok dari Mu'tazilah seperti Ja'far bin Harb dan Ja'far bin Habsyah dan datang yang terakhir Dawud al-Dzhairiy.
Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara' menurut kelompok yang menolaknya adalah :
1. Dalil al-Qur'an
Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 49:
"Hai orang - orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya...".
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang.
Pernyataan di atas di bantah dengan:
Bahwa menggunakan qiyâs bukanlah sesuatu yang dilarang, karena Allah Swt. dan Rasul-Nya, karena menggunakan qiyâs sejatinya adalah beramal dengan al-Qur'an dan sunnah, maka bukan mendahului Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya dalam surat al-Isra' ayat 36, Allah berfirman :
"Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya ".
Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu, berdasarkan ayat tersebut, qiyas dilarang untuk diamalkan.
Pernyataan ini juga dibantah dengan:
Ayat tersebut bukan merupakan larangan menggunakan qiyâs, karena menggunakan qiyâs bukanlah perkara yang dzhanni (persangkaan), bahkan qiyâs merupakan perkara yang qath'i (pasti) di tangan seorang mujtahid. Artinya diketahui secara yakin bahwa itu merupakan hukum Allah dalam suatu masalah.
2. Hadis
Alasan-alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits hasan yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
"Sesungguhnya Allah menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu".
Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma'afkan dan mubâh (boleh). Apabila di qiyas-kan sesuatu yang didiamkan syara' kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima'afkan atau dibolehkan.
Pernyataan di atas dijawab:

Bahwa menggunakan qiyâs bukan merupakan hukum dari mujtahid, tetapi itu adalah hukum dari Allah Swt., karena 'illat hukum pada dasarnya berasal dari sisi Allah.
Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyâs sebagai salah satu metode dalam hukum syar'i mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :
1. Surat al-Hasyt ayat 59:
"maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang - orang yang mempunyai pandangan".
Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir disebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I'tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyâs yang disebut Allah dengan al-I'tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya.
Ayat lain yang dijadikan alasan qiyâs adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
2. Surat al-Baqarah ayat 222:
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, "haid itu adalah kotoran", oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid".
Alasan jumhur ulama dari hadits Rasululah adalah riwayat dari Mu'adz Ibn Jabâl yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadhi. Rasulullah melakukan dialog dengan Mu'adz seraya berkata :
"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)"
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyâs.
Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :
"Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa". Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :"bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur - kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, "tidak", lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?". (H.R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthâb)
Dalam hadits tersebut Rasulullah meng-qiyaskan mencium istri dengan berkumur-kumur, yang keduanya sama-sama tidak membatalkan puasa.
5.Contoh Qiyas
1. Qiyâs keharaman extasy/pil koplo/narkotika.
Hukum mengkonsumsi extasy atau pil koplo tidak tertulis secara eksplisit di dalam al-Qur'an ataupun hadist. Namun dalam al-Qur'an surat al-Mâidah ayat 90, Allah Swt berfirman:
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Pada ayat diatas, Allah menerangkan keharaman minum khamer. Maka metode qiyâs dapat digunakan untuk menetapkan hukum mengkonsumsi extasy atau narkotika;
~ Al-Ashlu: minuman keras atau khamer
~ hukum asli: haram
~ Al-far'u: extasy
~ Al-'illah: memabukkan,
Dari rincian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara extasy dan minum khamer terdapat persamaan dalam 'illah, yaitu sama-sama memabukkan sehingga dapat merusak akal. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi extasy atau narkotik hukumnya haram, sebagaimana haramnya minum khamer.

ILMU FIQIH DAN USHUL FIQIH

Pengertian Fiqih

Oleh: M Hasbi

Fiqih atau fiqh (bahasa Arab:???) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.[1] Beberapa ulama fiqih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.
Fiqih membahas tentang cara bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip Rukun Islam dan hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat 4 mazhab dari Sunni, 1 mazhab dari Syiah, dan Khawarij yang mempelajari tentang fiqih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fiqih disebut Faqih.

Etimologi

Dalam bahasa Arab, secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fiqih secara terminologi yaitu fiqih merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu fiqih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah.

Dikutip dari : http://www.mediamuslim.net/

Pengertian Ushul Fiqih


Tinjauan Bahasa
Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.

Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.

Tinjauan istilah fiqhSedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim : “Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta’ala berfirman: “…dan tunaikanlah zakat!.”

Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut : “Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta’ala berfirman : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai… “.

Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.

Dikutip dari : http://muvid.wordpress.com/